Keajaiban Alas Sitirejo: Cerita Rakyat dan Realita Zaman Dahoeloe

Sitirejo, 12 Djuli 1935 — Di tengah rimbanya Alas Sitirejo, suatu desa kecil nan asri di tepian sungai Bengawan, beredar kisah-kisah penuh misteri dan keajaiban yang diwariskan turun-temurun. Para sesepuh desa, dengan sorot mata penuh wibawa, acap kali berkisah tentang Dewi Lanjar yang konon menjaga batas alas agar penduduk tetap aman dari gangguan makhluk halus.

“Dahulu, siapa pun yang hendak memasuki alas mesti membawa sesaji berupa kembang setaman dan membakar dupa,” tutur Mbah Wiryo, salah seorang tetua desa berusia tujuh puluh lima tahun. “Itu adalah tanda hormat kepada penunggu alas.”

Namun, bukan hanya dongeng yang merajut kehidupan di Sitirejo. Pada tahun ini, desa tersebut sedang giat membangun lumbung padi untuk menyimpan hasil panen. Kerjasama antara kaum lelaki yang bahu-membahu menebang kayu dan kaum wanita yang tekun merajut tikar anyaman menjadi bukti semangat gotong royong yang kental.

Kepala Desa,bapak Buwang Suharjah, menuturkan bahwa lumbung ini kelak bukan hanya menjadi tempat penyimpanan hasil bumi, melainkan pula simbol persatuan warga desa. “Dengan lumbung ini, kita berharap tak ada lagi musim paceklik yang memukul perut rakyat,” ujarnya.

Di sisi lain, kehidupan seni budaya tetap lestari. Setiap malam terang bulan, para pemuda mengadakan pertunjukan wayang kulit di balai desa. Dalang Ki Sastro dengan piawai mementaskan lakon “Pandawa Dhadhu” yang disambut riuh tepuk tangan penduduk.

Desa Sitirejo, meski terpencil, adalah potret bagaimana tradisi dan kemajuan bisa berjalan beriringan. Dalam keheningan alas dan gemuruh gamelan, harapan untuk masa depan yang makmur terus digantungkan di bawah langit Jawa.

— Oendjoekan Wartadjaja, pewarta desa Sitirejo

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال